“Kita mah sebenernya nggak mau, bang, parkir-parkir sembarangan di pinggir jalan kayak gini.”
Ambon sudah beroperasi di sini sejak 2017. Sebelum pandemi, ia masih bisa menyisakan uang dan akhir minggu untuk hobi fotografi. Namun ketika pandemi meringsek masuk, ia harus bekerja penuh waktu sebagai ojol. Menurut pengalamannya mencoba beberapa pangkalan, titik ini selalu paling ramai. Namun, untuk mengontrol kepadatan ojol, kadang kantor pusat memberikan suspensi area (berupa pembatasan penumpang) kepada beberapa driver sehingga mereka harus pindah pangkalan selama beberapa hari.
Menurut Ambon, ada 3 tipikal ojol. Mulai dari ojol stasiun, ojol makanan, dan ojol MRT. Ojol makanan lebih menguntungkan karena biasanya pemesan akan memberi tips. Namun seringkali makan waktu karena menunggu pesanan dimasak. Sementara ojol stasiun biasanya mengantar penumpang cukup jauh dan terlibat kemacetan. Maka ia memilih ojol MRT yang durasi tempuhnya lebih pendek sehingga ia bisa cepat kembali ke pangkalan.
Ia mengharapkan tempat kumpul bagi ojol. Pada dasarnya, ia dan sebagian besar ojol menyadari bahwa mereka mengganggu lalu lintas, sekaligus merasa segan untuk menepi di pinggir jalan. Bersama komunitas ojol, mereka pernah menyarankan pada kantor pusat untuk menyewa sebagian lahan bekas showroom ford sebagai titik resmi antar-jemput ojol. Jalur akses pun sudah direncanakan dengan pintu utama dan pintu samping yang sudah ada di belakang salah satu kios. Dengan demikian aktivitas ojol akan terpisah dari arus lalu lintas. Namun usulan itu berhenti di tengah jalan karena pemilik lahan showroom tidak bersedia menyewakannnya.
“Kita pernah mengusahakan untuk sewa parkiran di tanah sebelah (eks showroom). Jalurnya ada, pintu aksesnya juga ada di belakang warung. Office pusat pasti setuju, tapi sayangnya pemilik showroom nggak kasih izin.”
“Kalau ojol MRT enak, tujuannya deket, jadi cepat balik ke pangkalannya nggak kena macet. Kalau ojol stasiun pada jauh-jauh (tujuannya), kalau ojol makanan lama nunggu order dimasak.”
Comments